Selasa, 28 April 2015

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
Kuis Ke-2


Disusun Oleh : 
 Nama  : Zerli Selvika
NPM  : E1I012001
                      MK    : Sistem Informasi Geografis
       Dosen : Yar Johan, M.Si.


PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2015



Kuis Ke-2
Data Raster dan Data Vektor
  • Data Raster
     Data  raster merupakan data yang belum diolah, memilki nilai-nilai piksel dan data tentang ketinggian. Semakin  kecil piksel maka ketelitiannya akan semakin besar dan sebaliknya. Apabila semakin besar piksel maka ketelitiannya akan semakin kecil. Selain itu data raster juga merupakan data yang disimpan dalam bentuk kotak segi empat (grig)/sel  sehingga terbentuk suatu ruang yang teratur.

Gambar 1. Model Data Raster 

Gambar 2. Peta Menggunakan Data Raster

Kegunaan dari peta yang menggunakan data raster
1.             Digunakan dalam remote sensing yang berbasiskan citra satelit maupun airborne (pesawat terbang).
2.             Digunakan pula dalam membangun model ketinggian digital (DEM-Digital Elevation Model) dan model permukaan digital (DTM-Digital Terrain Model).
3.             Digunakan untuk mengetahui wilayah mana saja yang tertutupi oleh awan.

  • Data Vektor
Data vektor adalah data yang merepresentasikan setiap fitur ke dalam baris dalam tabel dan bentuk fitur didefinisikan dengan titik x, y dalam space. Fitur-fitur dapat memiliki ciri-ciri yang berbeda lokasi atau titik, garis atau poligon.
Gambar 3. Data Vektor Fitur titik
Gambar 4. Data Vektor Fitur Garis

Gambar 5. Data Vektor Fitur Poligon



Gambar 6. Peta Vektor yang menggambarkan jalan, dan batas Negara

Kegunaan dari peta yang menggunakan data vektor
1.             Digunakan untuk membedakan lokasi-lokasi yang ada di peta.
2.             Digunakan untuk mencari lokasi-lokasi tertentu.
3.             Digunakan untuk mengetahui batas-batas Negara.
4.             Digunakan untuk menggambarkan jalan suatu Negara.

Gambar 7. Kombinasi Peta Raster dan Peta Vektor




Sumber :
https://dennycharter.wordpress.com/2008/05/19/membedakan-peta-vektor-dan-peta-raster. Diakses Pada Tanggal 28 April 2015 Pukul 20.10 WIB.

Mukti Dono Wilopo. Materi SIG. Metode Data Spasial.





Rabu, 22 April 2015

MARIKULTUR

BIOTA MARIKULTUR

 DI SUSUN OLEH :
Nama                  : Zerli Selvika
NPM                   : E1I012001
Dosen                  : Ir. Dede Hartono, M.T.

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2015




Biota Marikultur 
Bandeng (Chanos chanos)

Beronang (Siganus sp)

Kakap Merah (Lates campechanus)

Kakap Putih (Lates calcarifer)

Kerapu (Epinephelus malabaricus)

Kerapu (Epinephelus coioides)


Kerapu Tikus (Chromileptes altivelis)


Kuwe (Caranx, Alectis, Gnatodon)


Titang (Scatophagus argus)


Napoleon (Cheilinus undulatus)


Ekor Kuning (Caesio sp)


Sidat (Anguilla b. bicolor)

Udang Windu (Penaeus monodon)


Udang Vanamae (Litopenaeus vannamei)


Kepiting Bakau (Scylla sp)


Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus)

Lobster (Panulirus argus)

Tiram Bakau (Crassostrea gigas)

Kerang Hijau (Perna viridis)

Kerang Mutiara (Pinctada maxima)


Kerang Darah (Anadara granosa)


Kima (Tridacna Gigas)

Abalone (Holiotis squamata)

Cumi-cumi (Loligo spp)


Sotong (Sephia officinalis)
Gurita (Octopus)


#IlmuKelautanUniversitasBengkulu

Sistem Informasi Geografis-Ilmu Kelautan Unversitas Bengkulu

Kuis Pertama SIG 
Sistem informasi geologis merupakan sistem yang berbasis komputer dan dirancang   untuk bekerja dengan menggunakan data informasi  spasial. Selain itu, SIG digunakan untuk memasukkan, menyimpan, mengolah, memanggil kembali, menganalisis dan mneghasilkan data yang bereferensi geografis.

Adapun kegunaan SIG di bidang kelautan yaitu untuk memberikan informasi tentang sebaran terumbu karang,  perubahan luasan terumbu karang, tentang ekosistem hutan mangrove,  ekosistem padang lamun, untuk keperluan hidrologi, oceanografi, ekosistem pantai, perubahan garis pantai, muara sungai (estuary), perubahan pola tataguna lahan wilayah pesisir. Selain itu, aplikasi SIG digunakan untuk mempermudah dalam pembuatan peta suatu daerah beserta dengan atribut yang di inginkan oleh pembuat peta.
contoh peta 

Senin, 20 April 2015

Terumbu Karang


I.              PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang

Kehidupan di laut sama seperti di daratan, tumbuh-tumbuhan merupakan produsen yang sesungguhnya, artinya biota ini mampu membuat zat-zat organik yang majemuk dari senyawa-senyawa anorganik yang sederhana yang terlarut dalam air. Tanpa tumbuh-tumbuhan laut sebagai penghasil makanan primer, perkembangan kehidupan hewan laut umumnya tidak akan mungkin berjalan. Tumbuhan tingkat tinggi tersebut sering disebut lamun (sea grass), sedangkan untuk tumbuhan tingkat rendah disebut rumput laut (sea weed). Tumbuhan yang hidup di daerah pantai yang berlumpur biasanya adalah bakau (mangrove).
Ekosistem terumbu karang (coral reef) merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu karang ini pada umumnya hidup lebih dari 300 jenis karang, yang terdiri dari sekitar 200 jenis ikan dan berpuluh-puluh jenis moluska, crustacean, sponge, alga, lamun dan biota lainnya (Dahuri, 2000 dalam Saleh, 2007).
Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut dan sebagai sumber plasma nutfah. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna dalam farmasi dan kedokteran. Selain itu terumbu karang juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi. Semakin bertambahnya nilai ekonomis maupun kebutuhan masyarakat akan sumberdaya yang ada di terumbu karang seperti ikan, udang lobster, tripang dan lain-lain. maka aktivitas yang mendorong masyarakat untuk memanfaatkan potensi tersebut semakin besar pula. Dengan demikian kita harus mengetahui kondisi terumbu karang yang ada di Pantai Parai agar terumbu karang yang ada di Pantai Parai akan selalu terjaga kelestariannya dan memastikan tidak adanya tekanan yang dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan ekosistem terumbu karang dan biota yang hidup di dalamnya.
Atas dasar hal tersebut, maka diperlukan sebuah cara untuk memantau kondisi terumbu karang setiap saat dalam rangka upaya mengontrol laju degradasi yang terjadi baik oleh alam maupun aktivitas manusia. Untuk kepentingan tersebut maka dikembangkan berbagai metode dalam memantau kondisi ekosistem terumbu karang. Diantara metode yang ada saat ini antara lain metode RRA (Rapid Reef Resource Assessment), metode Line Intercept Transect (LIT) dan Point Intercept Transect (PIT).

1.2.       Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis terumbu karang dan memonitoring pertumbuhan terumbu karang (coral reef) yang ada di Pantai Parai Kepulauan Bangka Belitung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai data awal mengenai jenis terumbu karang (coral reef) dan pertumbuhan terumbu karang di perairan Pantai Parai Kepulauan Bangka Belitung.


II.           TINJAUAN PUSTAKA

2.1.       Definisi Terumbu Karang

Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria =  Sleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Meskipun karang ditemukan di seluruh lautn di dunia, baik di perairan kutub ataupun di perairan ugahari, seperti halnya daerah tropik, terumbu karang hanya berkembang di daerah tropik. Hal ini disebabkan karena adanya dua kelompok karang yang berbeda, yang satu dinamakan hermatipik  dan yang lain ahermatipik. (Nybakken, 1992).
Terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo-Pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu karang di perairan tropis dan secara melintang terbentang dari wilayah selatan Jepang sampai utara Australia dikontrol oleh faktor suhu dan sirkulasi permukaan (surface circulation). Penyebaran terumbu karang secara membujur sangat dipengaruhi oleh konektivitas antar daratan yang menjadi stepping stones melintasi samudera. Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan banyaknya jumlah stepping stones yang terdapat di wilayah Indo-Pasifik diperkirakan menjadi faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran terumbu karang dan tingginya keanekaragaman hayati biota terumbu karang di wilayah tersebut. Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem perairan dangkal yang memegang peranan penting sebagai habitat dan tempat berlindung berbagai organisme laut. Secara fisik ekosistem terumbu karang juga memainkan peranan yang penting sebagai pelindung garis pantai. Selain itu keindahan terumbu dan penghuninya menjadi daya tarik tersendiri bagi manusia. Mengingat hal tersebut diatas, penting bagi kita untuk lebih memahami karang itu sendiri serta komponen – komponen biatik dan abiotik yang terdapat dalam ekosistem terumbu karang, sehingga kita dapat lebih mudah untuk memahami perbedaan komponen ekologi yang terdapat pada ekosistem terumbu karang dengan wilayah pesisir pantai dan perairan litoral (intertidal) (Nybakken, 1982).

2.2.      Morfologi Hewan Karang

Terumbu karang terbentuk dari kalsium karbonat yang sangat banyak (CaCo3), batuan kapur, yang merupakan hasil deposisi dari makhluk hidup (Castro & Huber 2007). Terumbu karang terutama disusun oleh karang-karang jenis anthozoa dari kelas scleractinia, yang mana termasuk hermatypic coral atau jenis karang yang mampu membuat bangunan atau kerangka karang dari kalsium karbonat (Vaughan & Wells 1943 in Supriharyono 2007). Struktur bangunan kapur (CaCo3) tersebut cukup kuat sehingga koloni karang mampu menahan gaya gelombang air laut. Sedangkan asosiasi organisme-organisme yang dominan hidup disini disamping scleractinian corals adalah alga yang banyak diantaranya juga mengandung kapur (Dawes 1981 inSupriharyono 2007).
Ada dua tipe karang, yaitu karang yang membentuk bangunan kapur (hermatypic corals) dan yang tidak dapat membentuk bangunan karang (ahermatypic corals). Hermatypic corals adalah binatang karang yang dapat membentuk bangunan karang dari kalsium karbonat, sehingga sering dikenal juga sebagai reef-building corals. Sedangkan ahermatypic coral adalah binatang karang yang tidak dapat membentuk bangunan karang (Supriharyono 2007).
Kemampuan hermatypic coral membentuk bangunan kapur tidak lepas dari proses hidup binatang ini. Binatang karang ini dalam hidupnya bersimbiosis dengan sejenis alga (zooxanthellae) yang hidup di jaringan-jaringan polip binatang karang tersebut, dan melaksanakan fotosintesa. Hasil samping dari aktifitas fotosintesa tersebut adalah endapan kapur kalsium karbonat, yang struktur dan bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menetukan jenis atau spesies binatang karang. Karena aktifitas tersebut, maka peran cahaya matahari sangat penting bagi hermatypic coral. Sehingga jenis binatang karang ini umumnya hidup di perairan pantai atau laut yang cukup dangkal, yang mana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan (Supriharyono 2007). Zooxanthellae adalah algae bersel tunggal dengan ukuran mikroskopis yang memerlukan cahaya matahari untuk berfotosintesis. Zooxanthellae merupakan alga dari jenis Gymnodinium microadriaticum atau dikenal juga dengan jenis Simbiodinium (Ronsen 1988 in Efendie 2009). Adanya simbiosis dengan zooxanthellae menyebabkan karang berwarna coklat, hijau, atau biru. Dalam keadaan tertentu misalnya akibat tekanan lingkungan atau adanya penyakit yang menyerang karang, zooxanthellae dapat keluar dari karang sehingga menyebabkan karang menjadi putih pucat dan bisa menyebabkan kematian (Veron 1986 in Pratama 2005). Zooxanthellae mendapat perlindungan dari karang dan menggunakan beberapa hasil sampingan metabolisme karang seperti karbondioksida, amonia, nitrat, dan fosfat sebagai bahan makanan. Sebaliknya karang mendapat keuntungan dari pelepasan bahan-bahan organik termasuk glukose, gliserol dan asam amonia yang dikeluarkan oleh zooxanthellae (Hutabarat & Evans 1985). Simbiosis antara zooxanthellae dengan polip karang dapat dilihat pada Gambar 2.
.
Gambar 1. Simbiosis antara zooxanthellae dan polip karang (Castro & Huber 2007)
Karang  pembentuk  terumbu   merupakan  koloni  dengan  sejumlah  besar  polip-polip  kecil  dengan  diameter  1-3  mm,  namun  seluruh  koloni  dapat  menjadi  besar. Beberapa   jenis   polip   soliter   dengan   diameter   sampai   25   cm,   misalnya   fungia (Suwignyo et al. 2005). Setiap individu karang yang disebut polip menempati mangkuk kecil yang dinamakan koralit.  Tiap mangkuk koralit mempunyai beberapa septa yang tajam  dan berbentuk  daun  yang  tumbuh  keluar  dari  dasar  koralit,  dimana  septa  ini merupakan  dasar penentuan  spesies karang  (Bengen  2002).   Setiap polip berbentuk seperti   cangkir   dengan   lingkaran   tentakel   yang  mengelilingi   bagian  tengah  yang berfungsi  sebagai mulut sekaligus  anus.   Tentakel memberi  informasi  melalui  sel-sel penyengat   (nematocysts)   yang  berfungsi   sebagai  alat  pertahanan   dan  menangkap mangsa  (Bermuda  Coexploration  2000 in Soehartono  & Mardiastuti  2003).   Anatomi polip karang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2.  Anatomi polip karang  (Sumich 1999 in Bengen 2002).

2.3.   Sistem Reproduksi


2.3.1. Reproduksi seksual


Binatang karang berkembang biak  secara  seksual  dan aseksual (Supriharyono 2007). Perkembangbiakkan  secara seksual melalui pemijahan  atau pertemuan antara ovarium  dan testes. Reproduksi seksual  karang  dimulai  dengan  pembentukan calon gamet sampai terbentuknya gamet matang, proses ini disebut gametogenesis. Selanjutnya gamet yang masak dilepaskan dalam bentuk  telur  atau planula.  Masing- masing  jenis  karang  mempunyai variasi dalam melepaskan  telur yang  telah  dibuahi dan pertumbuhan terjadi di luar (broadcaster). Sedang karang yang lain pembuahan terjadi di dalam induknya  dierami  untuk beberapa  saat dan dilepaskan sudah dalam bentuk planula (broader) (Coremap  fase  II  2006).  Proses reproduksi  seksual  pada hewan karang dapat dilihat dari Gambar 3.
Gambar 3.  Reproduksi seksual pada hewan karang (Nybakken 1992).

2.3.2.    Reproduksi aseksual

Reproduksi aseksual pada karang umumnya dilakukan dengan cara membentuk tunas  yang  akan  menjadi  individu  baru  pada  induk,  dan  pembentukan  tunas  yang terus-menerus  merupakan mekanisme untuk menambah ukuran koloni, tetapi tidak untuk menambah koloni baru (Nybakken 1992). Reproduksi terumbu karang melalui fragmentasi dan pertunasan (budding). Reproduksi melalui pertunasan, tergantung pada jenisnya, polip baru tumbuh secara ekstratentakular atau intratentakular (Gambar 4). Pada pertunasan ekstratentakular, polip yang baru tumbuh setengah bagian tubuh kebawah (Gambar 4-A). Pada pertunasan intratentakular, polip baru tumbuh dari penyekatan membujur dari oral disk ke arah aboral (Gambar 4-B). Proses pertunasan diikuti pembentukan sklerosepta dan mangkuk karang dari masing-masing polip (Suwignyo et al. 2005).
Gambar  4. Reproduksi aseksual pada hewan karang A. Pertunasan ekstratentakular,
B. Pertunasan intratentakular (Suwignyo et al. 2005).

2.4.      Penyebaran Terumbu Karang dan Faktor-faktor Pembatas

Karang hermatipik dapat bertahan selama beberapa waktu pada suhu sedikit di bawah 20 derajat celcius; akan tetapi , seperti yang di catat oleh Nybakken (1992), tidak ada terumbu yan gberkembang pada suhu minimum tahunan di bawah 18 drejat celcius. Perkembangan terumbu yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23 – 25 derajat celcius. Terumbu karang dapat mentoleransi suhu kira-kira 36 – 40 derajat celcius. (Nybakken, 1992)
Faktor pembatas karang antara lain yaitu, Kedalaman. Terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50 – 70 m. Kebanyakan terumbu tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Cahay, harus cukup tersedia agar fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang dapat terlaksana. Titik kompensasi untuk karang nampaknya merupakan kedalaman di mana intensitas cahaya berkurang samapai 15 - 20 persen dari intensitas permukaan. Salinitas, Karang hermatipik adalah organisme lautan sejati dan tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas air laut normal (32 – 35 0/00).  Pengendapan, baik di dalam air atau di atas karang berpengaruh negatif terhadap karang. Kebanyakan karang hermatipik tidak dapat bertahan dengan endapan yang berat, menutupinya dan menyumbat struktur pemberian makananya. (Nybakken, 1992).

2.5    Struktur Karang      

     Karena anggota-anggota terumbu karang  yang dominan adalah karang, maka perlu dimengerti sedikit mengenai anatominya. Karang adalah anggota filum Cnidaria, yang termasuk mempunyai bermacam-macam bentuk seperti ubur-ubur, hydroid, Hydra air tawar, dan anemon laut. Karang dan anemon laut adalah anggota klas yang sama Anthozoa. Perbedaan utama adalah karang menghasilkan kerangke luar dai kalsium karbonat sedangkan anemon tidak. (Nybakken, 1992).

2.6. Tipe-tipe Terumbu Karang

     Umumnya mereka dikelompokkan menjadi tiga kategori: Atoll, terumbu penghalang (barrier reef), dan terumbu tepi (fringing reef). Atol mudah dikenal karena merupakan terumbu yang berbentuk cincin yang muncul dari perairan yang dalam, jauh dari daratan dan melingkari gobah yang memiliki terumbu gobah atau terumbu petak. (Nybakken, 1992).
Selain itu terumbu karang terbagi menjadi empat kelompok berikut:
1.    Hermatypes-symbionts.
Kelompok ini terdiri dari anggota karang pembangun terumbu yaitu sebagian besar anggota Scleractinia (karang batu), Octocorallia (karang lunak) dan Hydrocorallia.
2.    Hermatypes-asymbionts.
Kelompok ini merupakan karang dengan pertumbuhan lambat yang dapat membentuk kerangka kapur masif tanpa bantuan zooxanthellae, sehingga mereka mampu untuk hidup di dalam perairan yang tidak ada cahaya.· Di antara anggotanya adalah Scleractinia asimbiotik dengan genus Tubastrea dan Dendrophyllia, dan hydro-corals jenis Stylaster rosacea.
3.    Ahermatypes-symbionts
Anggota kelompok ini antara lain dari genus Heteropsammia dan Diaseris (Scleractinia: Fungiidae) dan Leptoseris (Agaricidae) yang hidup dalam bentuk polip tunggal kecil atau koloni kecil sehingga tidak termasuk dalam pembangun terumbu. Kelompok ini juga terdiri dari Ordo Alcyonacea dan Gorgonacea yang mempunyai alga simbion namun bukan pembangun kerangka kapur masif (matriks terumbu).
4.    Ahermatypes-asymbionts
Anggota kelompok ini antara lain terdiri dari genus Dendrophyllia dan Tubastrea (Ordo Scleractinia) yang mempunyai polip yang kecil. Termasuk juga dalam kelompok ini adalah kerabat karang batu dari Ordo Antipatharia dan Corallimorpha (Subkelas Hexacorallia) dan Subkelas Octocorallia asimbiotik.

2.7.      Penyebaran Karang dan Zonasi Terumbu

     Jumlah spesies dan genera karang terumbu yang terbesar berada di daerah Indo-Pasifik, termasuk di dalamnya kepulauan Filipina, Kepulauan Indonesia, Nugini dan bagian utara Australia. Dalam daerah ini, Crossland (1952) dan Wells (1954) mencatat 50 negara dan beberapa ratus spesies. (Nybakken, 1992)
Dimulai dari sisi yang menghadap ke arah datangnya angin (windward). Zona pertama terumbu karang adalah lereng terluar yan gmenghadap ke laut (outer seaward slope), zona susuk dan parit (apur and groove) atau zona penopang, dan zona dataran terumbu yang sangat dangkal, dan berakhir di daerah pantai yang menghadap ke laut. (Nybakken, 1992).

2.8.      Bencana Kematian Terumbu Karang

     Mungkin sumber terbesar dari kematian terumbu masif antara lain perusakan mekanik oleh badai tropik yang hebat, dimana topan atau angin puyuh yang kuat ketika melalui suatu daerah terumbu sering merusak daerah yang luas di terumbu. Ledakan populasi Acanthaster Plancii, serta Kegiatan mausia secara langsung. (Nybakken, 1992).
     Ada beberapa jenis penyakit karang Pada awalnya jenis penyakit ini juga masih terbagi dalam dua jenis penyakit yakni:
1.    penyakit yang disebabkan oleh faktor internal (apathogen) (Skeletal anomalies, Shut-down reaction, dan White band disease)
2.    penyakit yang disebabkan oleh pathogen eksternal yakni bakteri (Black band disease, White plaque type I) .Perkembangan penyakit pada saat ini lebih cenderung kearah pathogen. Perkembangan penyakit yang disebabkan oleh faktor internal (aphatogen) juga mengalami perkembangan.
1.    penyakit yang disebabkan oleh faktor internal (apathogen) (White band disease type II).
2.    penyakit yang disebabkan oleh pathogen eksternal dibagi menjadi dua yakni: Pathogen yang disebabkan oleh jamur (Fungi) (Aspergillosis, Fungal protozoan syndrome) Pathogen yang disebabkan oleh bakteri atau microalgae (White pox, Vibrio shiloi-induced bleaching, Yellow blotch/band, White plague Type II , Yellow band, Dark spots, Skeleton eroding band, White plague Type III, Pink-line syndrome, Vibrio coralliilyticus-induced bleaching and diseas
3.    Limbah dan Eutropikasi Parameter penting dari tekanan sampah di lingkungan laut tampak dari penurunan kandungan oksigen, jumlah kontaminan beracun dan tingkat penanganan limbah. Limbah dapat mengandung sejumlah penting bahan toksik atau produk ikutan dari pestisida, herbisida, klorin, atau logam berat. Nilai BOD yang tinggi dari limbah, kemungkinan berpasangan dengan turunan hydrogen sulfida, mungkin juga menimbulkan pengaruh toksik. Selain limbah toksik, masuknya unsur hara (nutrien) yang ber lebihan (eutropikasi) dari daratan juga mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang. Dua contoh pengaruh eutropikasi terhadap terumbu karang telah di gambarkan di Barbados dan Kaneohe Bay Hawaii (Brown, 1997) Di Barbados tekanan merupakan kombinasi dari pengkayaan nutrien, penambahan sedimentasi dan masuknya bahan beracun. Dan di Kaneohe Bay tekanan meliputi sedimentasi, limbah rumah tangga dan runoff dari daerah pertanian.
4.    Acantchaster
Acanthaster planci adalah sejenis bintang laut besar yang sering disebut mahkkota duri (crown of thorns). Di New Caledonia dikenal dengan "step-mother’spin-cushion". Organisme ini dikenal bukan karena keindahan atau nilai komersialnya akan tetapi potensinya yang merusak bagi karang karena hewan ini memakan polyp karang (corallivorous). Seekor acanthaster dapat menghancurkan 5 – 6 m2 karang per tahun (Anonimus, 2003a). Dalam jumlah yang banyak dapat menghancurkan beberapa km2 per tahun. Beberapa bukti kerusakan karang akibat acanthaster telah di laporkan antara lain rusaknya 90% koral di sepanjang 38 km pantai Guam, 80% di Green Island (Australia) yang mencapai kedalaman 40 m. Di Hawaii hanya menyebabkan kerusakan yang kecil (Anonim, 2003a). Kerusakan bervariasi antara satu tempat ke tempat lain. Koral di tempat yang dangkal dengan air yang berolak sedikit terserang acantasther dibandingkan tempat lain. Tingkat kerusakan juga bergantung pada spesies karang, Porites dan Pocillopora yang membentuk blok paling massif sedikit mendapat serangan.
5.    Coral Bleaching
Coral bleaching adalah proses dimana koloni coral kehilangan pigmenpigmen karena ‘lepasnya’ zooxanthellae yang hidup bersimbiosis dengan organisme inangnya (polyp coral), atau karena zooxanthella telah keluar dari polyp (Quod, 2003) Meskipun bleaching koral umumnya terjadi pada bagian yang dangkal dari terumbu, pada sebagian besar kasus serius dapat mempengaruhi koloni yang berlokasi hampir 40 m. Menunrut Muller-Parker dan D’Elia, (1997) Fenomena coral bleaching mungkin merupakan suatu mekanisme pemberian kesempatan bagi coral dewasa untuk menukar zooxanthella dengan yang ada dilingkungan. Hal ini sesuai pendapat Buddemeier dan Fautin (1993) dalam Veron (1995) yang menduga bahwa bleaching lebih merupakan adaptasi dibanding sebagai bentuk penyakit. Pada kenyataanya, tampak bahwa bleaching adalah suatu proses yang kontinyu yang terjadi ketika ada tekanan tehadap lingkungan. Tingkat pengusiran yang rendah dari simbion-simbion mungkin terjadi relatif teratur,memungkinakan pergantian terus-menerus populasi simbion dalam coral inang.
6.    Global climate changes (Perubahan Iklim Global) Menurut Smith dan Buddemeier (1992) dalam Brown (1997), faktor-faktor kunci yang dapat mempengaruhi terumbu karang selama periode perubahan iklim adalah naiknya permukaan laut (sea-level rise), penambahan temperatur air laut, perubahan kelarutan mineral karbonat, bertambahnya radiasi ultra violet dan kemungkinan menguatnya aktivitas badai dan arus.






















III.       METODELOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian  

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2014. Lokasi penelitian dilakukan di perairan Pantai Parai Kepulauan Bangka Belitung. Posisi geografis antara 106.09o – 106.16o LU – 1.79o – 1.83o LS.
Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian (sumber : Arcview dan Google Earth)

3.2.      Alat dan Bahan Penelitian

          Alat dan bahan dan kegunaan pada saat penenlitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Alat dan Bahan.
No
Alat dan Bahan
Kegunaan
1
Alat tulis bawah air
Untuk mencatat hasil pengamatan di lapangan
2
Buku identifikasi terumbu karang
Panduan untuk mengidentifikasi terumbu karang
3
Camera Underwater
Untuk dokumentasi kegiatan di lapangan
4
Perahu Bermotor
Transportasi yang digunakan
5
Pita berskala  25 meter (roll meter)
Untuk pembuatan transek
6
GPS receiver
Untuk menentukan posisi lokasi penelitian
7
Termometer Hg
Untuk mengukur suhu
8
Hand Refraktometer
Mengukur salinitas
9
Secchi disk
Untuk  mengukur kecerahan
10
Tali pengukur dan konsul
Untuk mengukur kedalaman

3.3.      Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei dengan menggunakan observasi secara langsung dan penggunaan metode PIT. Pengukuran kualitas perairan seperti suhu, salinitas, kecepatan arus, kecerahan, derajat keasaman (pH) secara in situ.

3.3.1.   Penentuan Lokasi Penelitian

Posisi stasiun penelitian ditentukan dengan menggunakan Global Positioning System (GPS).

3.3.2. Pengambilan Data Terumbu Karang

Metode pengukuran terumbu karang yang digunakan adalah Transek Garis Segmen atau Point Intercept Transect (PIT) (Gambar 2). PIT (Point Intercept Transect) atau transek garis segmen merupakan modifkasi dari transek garis life form. PIT lebih sederhana dalam terapannya dimana setiap jarak 25 cm harus dicatat. Penelitian dilakukan sebanyak 3 stasiun dan panjang transek sekitar 25 meter yang dibentangkan berimpit dengan transek permanen yang sejajar dengan garis pantai. Transek permanen telah diletakkan pada satu kedalaman, yakni 5 meter.
Text Box: 0 M Text Box: 25 M
 

Text Box: 25cm	50cm	75cm   100cm  125cm					    2500cmRounded Rectangle: ...........................................v


Gambar 6. Metode Point Intercept Transek

3.3.3. Pengambilan Data Parameter Kualitas Perairan

Parameter fisika-kimia perairan yang di ukur adalah suhu, kecepatan arus, kecerahan, kedalaman, salinitas dan derajat keasaman (pH), dengan tujuan untuk menggambarkan kondisi perairan saat penelitian dilaksanakan.

3.4.      Analisi Data

Setelah melakukan pengamatan karang dengan metode PIT, persentase pentupan karang hidup  dihitung mengacu pada English et al. (1994)
Tutupan karang (%) =
Kriteria penilaian kondisi terumbu karang adalah berdasarkan persentase tutupan karang hidup (kep MENLH No 4 tahun 2001) dengan kategori sebagai berikut:
Tabel 2. Kategori kondisi terumbu karang (K)
No
Persentase Tutupan Karang
Kategori
1
0 – 24.9
Rusak
2
25 – 49,9
Sedang
3
50  – 74,9
Baik
4
75  - 100
Sangat baik


















VI.       HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.       Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Provinsi Kepulauan Bangka belitung adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terdiri dari dua pulau utama yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung serta pulau-pulau kecil seperti Pulau Lepar, Pulau Pongok, Pulau Mendanau dan Pulau Selat Nasik. Total pulau yang bernama berjumlah 470 buah dan yang berpenghuni hanya 50 pulau. Bangka Belitung memiliki total area 18.725.14 km2 (7.229.82 mil2) yang terdiri dari total darat 16.424.14 km2 (6.314.40 mil2) dan total perairan 65.301 km2 (25.213 mil2) atau 79,99 % dari jumlah total keseluruhan. Bangka Belitung terletak di bagian timur Pulau Sumatera, dekat dengan Provinsi Sumatera Selatan. Bangka Belitung dikenal sebagai daerah penghasil timah, memilki pantai yang indah dan kerukunan antar etnis. Pantai Parai merupakan salah satu pantai yang terletak di Kepulauan Bangka Belitung yang memilki keindahan yang eksotis.
Pantai Parai merupakan pantai yang memilki ekosistem terumbu karang yang baik. Tipe terumbu karangnya termasuk dalam kategori terumbu karang tepi (fringing reef). Selain dikelilingi hamparan terumbu karang, memiliki hamparan pantai berpasir putih yang indah, pantainya terlihat landai dan sama sekali tidak ditumbuhi mangrove, akan tetapi terdapat vegetasi pohon kelapa dan pohon pinus.

4.2.       Parameter Kualitas Air

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan maka diperoleh hasil pengukuran parameter kualitas air yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai parameter kualitas air
No
Parameter
Satuan
Stasiun
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
3 Meter
8 Meter
3 Meter
8 Meter
3 Meter
8 Meter
1
Suhu
oC
29
29
30
29
30
30
2
Salinitas
ppt
31
31
31
31
31
31
3
Arus
Ms-1
0.079
0.078
0.083
0.078
0.066
0.065
4
Kecerahan
m
11
11
11
10
11
9
a)             Suhu
Suhu dilokasi penelitian berkisar 29 – 30 oC suhu pada kisaran ini merupakan suhu yang baik bagi pertumbuhan terumbu karang. Menurut Sadarun et.al., (2006),  bahwa  suhu          mempengaruhi kecepatan metabolisme dan reproduksi. Suhu paling optimal bagi          pertumbuhan karang berkisar antara 23–30 oC, semakin tinggi suhu maka semakin tinggi pula metabolisme hewan karang sehingga kelarutan oksigen akan berkurang.  Kisaran suhu di lokasi penelitian masih pada kisaran normal dan dapat ditoleransi oleh biota perairan. Sesuai dengan Rahman (2006) bahwa biota laut dapat mentoleransi suhu yang berkisar 20-35°C dan suhu yang baik untuk    pertumbuhan kima adalah 25-35°C (Jameson, 1976).
Coral Watch (2011) menyatakan bahwa suhu air berfluktuasi sesuai siklus matahari dan pasang-surut. Air laut yang terperangkap di dalam cekungan bebatuan atau pada rataan terumbu karang di siang hari suhunya dapat meningkat beberapa derajat. Pola suhu dalam perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dan udara di sekelilingnya, ketinggian geografis, dan juga oleh faktor    penutupan oleh vegetasi dari pepohonan yang tumbuh di sekitarnya.
b)            Salinitas
Salah satu parameter ekologi yang berpengaruh terhadap  organisme di laut adalah salinitas. Salinitas merupakan konsentrasi seluruh garam yang terdapat dalam air laut. Salinitas mempengaruhi tekanan osmotik dalam tubuh organisme, sehingga organisme tersebut akan mengeluarkan energi untuk beradaptasi dengan lingkungannya melalui mekanisme osmoregulasi. Kadar garam atau salinitas yang diperoleh pada ke tiga stasiun pengamatan adalah sama yaitu sebesar 31 ppt. Salinitas pada ke tiga stasiun ini tergolong salintas yang baik untuk pertumbuhan terumbu karang. Menurut Sadarun et.al., (2006), bahwa salinitas optimum bagi kehidupan karang berkisar antara  30–35 ppt, oleh karena itu karang jarang ditemukan hidup pada muara-muara sungai besar, bercurah hujan tinggi, dan perairan dengan kadar garam yang tinggi.
Sedangkan bagi pertumbuhan kima, salinitas tersebut masih dalam kategori baik. Hal ini  seperti pendapat Jameson (1976) bahwa salinitas yang baik untuk kima adalah 25- 40 ppt. Coralwatch (2011), menambahkah bahwa salinitas berubah-ubah akibat bertambah dan berkurangnya molekul-molekul air melalui proses penguapan dan air hujan. Salinitas meningkat bila laju penguapan di suatu daerah lebih besar dari pada hujan. Sebaliknya, pada daerah dimana curah hujan lebih besar dari  pada penguapan salinitas berkurang. Kondisi ini tergantung dengan garis lintang dan musim.
c)             Kecepatan Arus
Kecepatan arus di lokasi penelitian dengan nilai tinggi terdapat pada stasiun I dan II, hal ini di pengaruhi oleh kondisi perairannya lebih terbuka dan angin yang terasa kuat sehingga arus lebih tinggi di stasiun tersebut. Nontji (1993), menyatakan bahwa keberadaan arus dan gelombang di perairan sangat penting untuk kelangsungan hidup terumbu karang. Arus diperlukan untuk mendatangkan makanan berupa plankton,    disamping itu juga  membersihkan diri dari endapan-endapan dan untuk mensuplai oksigen dari laut bebas. Oleh karena itu pertumbuhan di tempat yang airnya selalu teraduk oleh arus dan ombak, lebih baik dari pada  perairan yang  tenang dan terlindung.
d)            Kecerahan
Bedasarkan hasil pengukuran kecerahan bahwa kecerahan pada tiap stasiun adalah sama yaitu kecerahan 11 m. Penetrasi cahaya masih dapat menembus perairan sampai ke dasar laut. Hal ini menunjukkan tingkat kecerahan yang baik untuk pertumbuhan terumbu karang, karena cahaya adalah salah satu faktor yang paling penting yang membatasi terumbu karang sehubungan dengan laju fotosintesis oleh  zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Supriharyono (2007) menyatakan bahwa tanpa  cahaya yang cukup yang masuk dalam badan air laju fotosintesis akan berkurang. Kima seperti halnya terumbu karang dalam pertumbuhannya membutuhkan cahaya. Hal ini terkait dengan suplai makanan, selain mendapat makanan dari sekitarnya juga mendapatkan makanan dari simbionnya. Pada mantel kima hidup alga bersel satu yang disebut zooxanthellae yang memberi suplai makanan pada kima  (Mudjiono, 1988). lebih lanjut Smith et.al (2008), bahwa parameter ekologi yang mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup karang yaitu faktor  cahaya, suhu, salinitas,  kekeruhan air dan pergerakan massa air. 

4.3.       Dominasi Bentuk Pertumbuhan Terumbu Karang

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan maka diperoleh hasil pengukuran dominasi bentuk pertumbuhan karang hidup pada masing-masing stasiun di Pantai Parai. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 4. Bentuk pertumbuhan dan jumlah kemunculan karang di setiap stasiun
No
Kategori
Jumlah dan Jenis lifeforms Terumbu Karang
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
3 (meter)
8(meter)
3 (meter)
8 (meter)
3 (meter)
8 (meter)
I
Hard corals (Acropora)
4
4
4
5
4
2
1
ACB
+
+
+
+
+
+
2
ACD
+
+
+
+
+
+
3
ACE
-
-
+
+
-
-
4
ACS
+
+
+
+
+
+
5
ACT
+
+
-
+
+
+
II
Hard corals (Non-Acropora)
4
5
5
6
5
6
1
CB
+
+
+
+
+
+
2
CE
+
+
+
+
+
+
3
CF
-
-
+
+
-
+
4
CM
+
+
-
+
+
+
5
CS
-
+
+
+
+
+
6
CMR
-
-
-
-
-
-
7
CHL
+
+
+
+
+
+
8
CME
-
-
-
-
-
-
II
Biota Lain
1
2
2
2
2
2
1
SC
+
+
+
+
+
+
2
SP
-
-
-
-
-
-
3
ZO
-
-
-
-
-
-
4
OT
-
+
+
+
+
+
TOTAL
9
11
11
13
11
10
Keterangan : +  Ada pertumbuhan
-          Tidak ada pertumbuhan
Kondisi terumbu karang pada tiap stasiun pengamatan memiliki bentuk pertumbuhan (life form) yang bervariasi. Bentuk pertumbuhan koloni karang yang ditemukan pada stasiun pengamatan adalah Acropora (Acropora branching, Acropora tabulate), Non Acropora (Coral branching, Coral encrusting, Coral foliose, Coral massive, Coral muschroom), death coral, death coral with alga, dan abiotik meliputi sand, rubble, water,        sedangkan biotik lain (Sponge dan  others).  Berdasarkan hasil identifikasi jenis terumbu karang di temukan 13 jenis yang berbeda. Pada stasiun 1 di kedalaman 3 ditemukan 9 bentuk pertumbuhan, pada kedalaman 8 meter ditemukan 11 bentuk pertumbuhan. Kemudian pada stasiun 2 kedalaman 3 meter ditemukan 11 bentuk pertumbuhan, pada kedalaman 8 meter ditemukan 13 bentuk pertumbuhan. Selain itu pada stasiun 3 di kedalaman 3 meter ditemukan 11 bentuk pertumbuhan dan kedalaman 8 meter terdapat 10 bentuk pertumbuhan.

4.4.       Kondisi Terumbu Karang

Hasil pengukuran kondisi terumbu karang yang ada di perairan Pantai Parai dapat dilihat pada grafik batang di bawah ini.
Gambar 7. Kondisi terumbu karang stasiun 1 kedalaman 3 meter
Gambar 8. Kondisi terumbu karang stasiun 1 kedalaman 8 meter
Gambar 9. Kondisi terumbu karang stasiun 2 kedalaman 3 meter
Gambar 10. Kondisi terumbu karang stasiun 2 kedalaman 8 meter
Gambar 11. Kondisi terumbu karang stasiun 3 kedalaman 3 meter
Gambar 12. Kondisi terumbu karang stasiun 3 kedalaman 8 meter
Berdasarkan hasil pengukuran terumbu karang yang dilakukan dengan menggunakan metode PIT maka pada stasiun 1 kedalaman 3 meter banyak terdapat jenis karang DC dan SC yaitu banyaknya terdapat karang mati dan jenis biota yang ada di sekitar stasiun 1 kedalaman 3. Tetapi pada stasiun 1 di kedalaman 3 meter hanya terdapat 2% alga yang menutupi karang. Adapun jenis karang mati yang terdapat di stasiun 1 kedalaman 3 meter disebabkan oleh aktifitas lalu \intas kapa\ maupun karena pada saat surut terendah daerah Reef top ini menjadi tempat mencari kerang (Anadara, dll) untuk dikonsumsi. Kemudian pada kedalaman 8 meter pada stasiun 1 jenis karang mati hanya terdapat 10 % hal tersebut disebakan karena kapal-kapal nelayan tidak terlalu mengganggu ekosistem terumbu karang yang ada di stasiun 1 kedalaman 8. Tetapi pada stasiun ini banyak di dominasi oleh pasir yaitu 12 %. Hal yang mengakibatkan terdapatnya banyak pasir yaitu pada setiap pengukuran sejauh 25 cm maka hal yang ditemukan yaitu pasir. Sehingga pada stasiun 1 kedalaman 8 meter di dominasi oleh pasir. Daerah ini juga sering di kunjungi wisatawan untuk bermain dan berenang karena memiliki substrat pasir yang relatif luas. Substrat sand atau pasir dapat mempengaruhi kondisi terumbu karang. Kondisi tutupan abiotik (sand) yang tinggi pada suatu area   terumbu karang adalah pertanda buruknya tutupan biota karang. Persentasi tutupan pasir yang tinggi menunjukkan bahwa distribusi karang tidak merata dan membentuk gundukan-gundukan yang terpisah  ditemukan di stasiun I. Nybakken, (1992) menyatakan bahwa hewan karang membutukan substrat yang keras dan kompak untuk menempel, terutama larva planula dalam pembentukan koloni baru dari karang yang membutuhkan substrat yang keras.
Kemudian pada stasiun 2 kedalaman 3 meter hampir sama dengan stasiun 1 kedalaman 3 meter yaitu kebanyakan didominasi oleh karang mati yaitu sebanyak 14 %. Kemudian pada stasiun ini terdapat kima yang menutupi karang sehingga hal tersebutlah yang membuat di stasiun ini banyak terdapat karang mati. Selain itu pada stasiun 2 kedalaman 3 meter juga banyak terdapat alga yang menutupi karang yaitu sebanyak 4 %. Sehingga karang yang tertuttupi oleh alga maka tidak dapat melakukan pertumbuhan dengan baik. Kemudian pada kedalaman 8 meter di stasiun 2 karang mati menurun menjadi 8 % kemudian adanya peningkatan persentase alga yaitu sebanyak 1 %. Kemudian di kedalaman 8 meter stasiun 2 banyak terdapat SC dan OT yang menutupi karang.
Selain itu pada stasiun 3 kedalaman 3 meter terjadi peningkatan karang mati DC yang mencapai 19 %. Hal tersebut dikarenakan pada stasiun 3 di kedalaman 3 meter banyak terkena paparan sinar matahari yang langsung menembus terumbu karang yang ada di perairan Pantai Parai. Fachry dan Pertamasari (2011) menjelaskan, lima aktifitas utama manusia yang mengancaman kelestarian  terumbu  karang,  yaitu  penangkapan  ikan  dengan  bahan beracun, penangkapan  ikan dengan   bahan peledak, pengambilan batu karang, sedimentasi, dan pencemaran laut. Lebih lanjut Bahartan et.al., (2010) menyatakan bahwa pencemaran dari industri dan limbah rumah tangga, juga akan membuat terumbu       karang ikut terganggu. Alga dan kima juga merupakan penyebab banyaknya terdapat karang mati. Kemudian pada kedalaman 8 meter karang mati mengalami penurunan persentase yaitu hanya terdapat 7 %.  Lalu pada kedalaman 8 meter di stasiun 3 ini sama dengan stasiun 2 kedalaman 8 meter yaitu banyak di dominasi oleh pasir. Kemudian juga terdapat partikel sedimen  yang dapat menghambat pertumbuhan karang secara langsung maupun tidak langsung. Supriharyono, (2007) menyatakan bahwa, secara langsung partikel sedimen dapat menutup mulut polip karang dan organ penangkap mangsanya, secara tidak langsung, partikel sedimen akan mengurangi penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan dan menurunkan laju pertumbuhan karang. Lebih lanjut Coralwatch, (2011) menyatakan  bahwa adanya sedimentasi yang tinggi di ekosistem terumbu karang dapat mempercepat        pertumbuhan alga. Apabila biota-biota pemakan alga jumlahnya sangat sedikit maka terumbu karang akan di dominasi oleh dead  coral with alga. 
Berdasarkan penenlitian yang sudah dilakukan dan perhitungan yang sudah dilakukan maka didapatkan nilai tutupan karang menurut kep MENLH No 4 tahun 2001.
Tabel 5. Nilai persen tutupan terumbu karang pada tiap stasiun pengamatan
Stasiun

Kedalaman


3 Meter

10 Meter

(%) Tutupan
Kategori
(%) Tutupan
Kategori
I
61.00
Baik
67.00
Baik
II
62.00
Baik
70.00
Baik
III
66.00
Baik
65.00
Baik
Pada stasiun 1 kedalaman 3 meter terdapat persentase nilai tutupan karang sebesar 61% yang tergolong kategori baik. Stasiun 1 kedalaman 8 meter memiliki nilai persentase tutupan karang 67 % yang tergolong kategori baik. Pada stasiun 2 kedalaman 3 meter nilai persentase tutupan karang 62 %, kedalaman 8 meter 70 % sehingga tergolong pada kategori baik. Kemudian pada stasiun 3 kedlaman 3 meter nilai persentase tutupan karang 66 % dan kedalaman 8 meter terdapat 65 % yang memilki kategori baik.
Pada daerah penenlitian ini memiliki perairan yang jernih sehingga sangat mudah ditembus oleh cahaya matahari yang cukup untuk pertumbuhan terumbu karang. Sehingga banyaknya terdapat ketersediaan makanan untuk hewan karang. Kemudian pada tempat penelitian memiliki parameter kualitas air yang tergolong baik yang bisa menjadi penunjang pertumbuhan terumbu karang yang ada di perairan Pantai Parai Kepulauan Bangka Belitung.









V.        KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.    KESIMPULAN

Berdasrkan penelitian yang sudah dilakukan maka jenis karang yang terdapat di Pantai Parai Kepulauan Bangka Belitung yaitu jenis ACB, ACD, ACS, ACT, ACE, CB, CE, CF, CS, CHL, SC, OT dan MA. Selain itu padahasil yang sudah di dapat maka juga banyak didominasi oleh pasir dan karang mati. Kemudian juga terdapat alga yang menutupi beberapa terumbu karang.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di perairan Pantai Parai maka Pantai Parai merupakan pantai yang memilki ekosistem terumbu karang yang termasuk kedalam kategori baik. Penelitian ini dilakukan di tiga stasiun dan tiga stasiun tersebut termasuk terumbu karang yang memilki kategori baik. Pada kedalaman 3 meter pada stasiun I, II dan III yaitu persentase tutupan karangnya 61 %, 62% dan 66%. Kemudian pada kedalam 8 meter di stasiun I, II dan III yaitu 67 %, 70 %, 65 %. Berdasarkan kep MENLH persentase tutupan karang tersebut termasuk kedalam kategori baik.

5.2.    SARAN

Saran yang dapat diberikan dalam hubungannya dengan penelitian ini yaitu perlu adanya penelitian lanjutan tentang Kondisi Terumbu Karang. Mengingat sangat pentingnya terumbu karang untuk biota yang ada di laut dan untuk lautnya sendiri maka kita harus menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu karang sebaik mungkin.











DAFTAR PUSTAKA


Bahartan, K., Zibdah, M., Ahmed, Y., Israel, A., Brickner, I., dan Abelson, A. 2010. Macroalgae in the coral reefs of Eilat (Gulf of Aqaba, Red Sea) as a possible indicator of reef degradation. Marine Pollution Bulletin. 60(5) : 759–764.
Coralwatch. 2011. Terumbu Karang dan  Peru bahan Iklim. Panduan Pendidikan dan Pembangunan Kesadartahuan. The University of  Queensland. Australia, 272 hal.
English, S., C. Wilkinson, V. Baker. 1994. Survey manual for tropical marine resources (2 Edition). Asean Australia marine science project. Australia institute of marine science, Townsville.
Fachry, M.E., Pertamasari, A. 2009. Analisis Efektifitas Metode Penyuluhan Pada Masyarakat Pesisir di Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Jurnal Agribisnis. 10(3) : 69-80.
Jameson, C.S. 1976. Early Life History of The Giant Clams Tridacna crocea  Lamarck, Tridacna maxima (Roding) and Hippopus hippopus (Linnaeus) Pasific Science. 30,(3) : 219-233.
Kementerian Lingkungan Hidup, 2001. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Dampak Lingkungan Era Otonomi Daerah. Jakarta. 737-739 hal.
Mudjiono. 1988. Catatan Beberapa Aspek Kehidupan Kima Suku Tridacnidae (Molusca, Pelecypoda). Oseana. 13: 37-47.
Nontji. A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta, 367 hal.
Nybakken. 1992. Biologi Laut. Suatu  Pendekatan Ekologi. Terjemahan M. Ediman, Koeshlono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukardjo. PT. Gramedia. Jakarta, 481 hal.
Rahman, A. 2006. Kandungan  Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada Beberapa Jenis Krustasea Di Pantai Batakan dan Takisung  Kabupaten Tanah Laut Kalimantan   Selatan. Bioscientiae. 2 (3) : 93-101.
Sadarun, B.,Nezon, E., Wardono, S., Afandy, Y.A., Nuriadi, L. 2006. Petunjuk  Pelaksanaan Transplantasi Karang. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta 36 hal.
Siregar, V.P. 1996. Pengembangan Algoritma Pemetaan Terumbu Karang di Pulau Menjangan Bali dengan Citra Satelit. Kumpulan Seminar Maritim 1996. BPPT, Jakarta.
Smith, T.B., Nemeth, R.S., Blondeau, J., Calnan, J.M., Kadison, E., dan  Herzlieb, S. 2008. Assessing coral reef health across onshore to offshore stress gradients in the US Virgin    Islands. Center for Marine and Environmental Studies. University of the Virgin Islands. 56 (12) : 83-91.
Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta, 129 hal.
Veron, 2000. Corals of The World Australian Institute of Marine Science, PMB3. Townssvilie MC.Q164810 : p 463.