Kehidupan di laut sama seperti di daratan, tumbuh-tumbuhan
merupakan produsen yang sesungguhnya, artinya biota ini mampu membuat zat-zat
organik yang majemuk dari senyawa-senyawa anorganik yang sederhana yang
terlarut dalam air. Tanpa tumbuh-tumbuhan laut sebagai penghasil makanan
primer, perkembangan kehidupan hewan laut umumnya tidak akan mungkin berjalan.
Tumbuhan tingkat tinggi tersebut sering disebut lamun (sea grass), sedangkan
untuk tumbuhan tingkat rendah disebut rumput laut (sea weed). Tumbuhan yang
hidup di daerah pantai yang berlumpur biasanya adalah bakau (mangrove).
Ekosistem terumbu karang (coral reef) merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting
karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam
ekosistem terumbu karang ini pada umumnya hidup lebih dari 300 jenis karang,
yang terdiri dari sekitar 200 jenis ikan dan berpuluh-puluh jenis moluska,
crustacean, sponge, alga, lamun dan biota lainnya (Dahuri, 2000 dalam Saleh,
2007).
Terumbu karang mempunyai
fungsi yang sangat penting sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan
bagi biota laut dan sebagai sumber plasma nutfah. Terumbu karang juga merupakan
sumber makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna dalam farmasi dan
kedokteran. Selain itu terumbu karang juga mempunyai fungsi yang tidak kalah
pentingnya yaitu sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi. Semakin
bertambahnya nilai ekonomis maupun kebutuhan masyarakat akan sumberdaya yang
ada di terumbu karang seperti ikan, udang lobster, tripang dan lain-lain. maka
aktivitas yang mendorong masyarakat untuk memanfaatkan potensi tersebut semakin
besar pula. Dengan demikian kita harus mengetahui kondisi terumbu karang yang
ada di Pantai Parai agar terumbu karang yang ada di Pantai Parai akan selalu
terjaga kelestariannya dan memastikan tidak adanya tekanan yang dapat mengancam
keberadaan dan kelangsungan ekosistem terumbu karang dan biota yang hidup di
dalamnya.
Atas dasar hal tersebut,
maka diperlukan sebuah cara untuk memantau kondisi terumbu karang setiap saat
dalam rangka upaya mengontrol laju degradasi yang terjadi baik oleh alam maupun
aktivitas manusia. Untuk kepentingan tersebut maka dikembangkan berbagai metode
dalam memantau kondisi ekosistem terumbu karang. Diantara metode yang ada saat
ini antara lain metode RRA (Rapid Reef Resource Assessment), metode Line
Intercept Transect (LIT) dan Point Intercept Transect (PIT).
Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi jenis terumbu karang dan memonitoring
pertumbuhan terumbu karang (coral reef) yang ada di Pantai Parai Kepulauan
Bangka Belitung. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai data
awal mengenai jenis terumbu karang (coral reef) dan pertumbuhan terumbu karang
di perairan Pantai Parai Kepulauan Bangka Belitung.
Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat
yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo
Madreporaria = Sleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur
dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Meskipun
karang ditemukan di seluruh lautn di dunia, baik di perairan kutub ataupun di
perairan ugahari, seperti halnya daerah tropik, terumbu karang hanya berkembang
di daerah tropik. Hal ini disebabkan karena adanya dua kelompok karang yang
berbeda, yang satu dinamakan hermatipik dan yang lain ahermatipik.
(Nybakken, 1992).
Terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran
di wilayah Indo-Pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu karang di perairan
tropis dan secara melintang terbentang dari wilayah selatan Jepang sampai utara
Australia dikontrol oleh faktor suhu dan sirkulasi permukaan (surface
circulation). Penyebaran terumbu karang secara membujur sangat dipengaruhi oleh
konektivitas antar daratan yang menjadi stepping stones melintasi samudera.
Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan
banyaknya jumlah stepping stones yang terdapat di wilayah Indo-Pasifik
diperkirakan menjadi faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran terumbu
karang dan tingginya keanekaragaman hayati biota terumbu karang di wilayah
tersebut. Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem
perairan dangkal yang memegang peranan penting sebagai habitat dan tempat
berlindung berbagai organisme laut. Secara fisik ekosistem terumbu karang juga
memainkan peranan yang penting sebagai pelindung garis pantai. Selain itu
keindahan terumbu dan penghuninya menjadi daya tarik tersendiri bagi manusia.
Mengingat hal tersebut diatas, penting bagi kita untuk lebih memahami karang
itu sendiri serta komponen – komponen biatik dan abiotik yang terdapat dalam
ekosistem terumbu karang, sehingga kita dapat lebih mudah untuk memahami
perbedaan komponen ekologi yang terdapat pada ekosistem terumbu karang dengan
wilayah pesisir pantai dan perairan litoral (intertidal) (Nybakken, 1982).
Terumbu karang terbentuk dari kalsium karbonat
yang sangat banyak (CaCo3), batuan kapur, yang merupakan hasil deposisi dari
makhluk hidup (Castro & Huber 2007). Terumbu karang terutama disusun oleh
karang-karang jenis anthozoa dari kelas scleractinia, yang mana termasuk hermatypic
coral atau jenis karang yang mampu membuat bangunan atau kerangka karang
dari kalsium karbonat (Vaughan & Wells 1943 in Supriharyono 2007).
Struktur bangunan kapur (CaCo3) tersebut cukup kuat sehingga koloni karang
mampu menahan gaya gelombang air laut. Sedangkan asosiasi organisme-organisme
yang dominan hidup disini disamping scleractinian corals adalah alga
yang banyak diantaranya juga mengandung kapur (Dawes 1981 inSupriharyono
2007).
Ada dua tipe karang, yaitu karang yang
membentuk bangunan kapur (hermatypic corals) dan yang tidak dapat
membentuk bangunan karang (ahermatypic corals). Hermatypic corals adalah
binatang karang yang dapat membentuk bangunan karang dari kalsium karbonat,
sehingga sering dikenal juga sebagai reef-building corals. Sedangkan ahermatypic
coral adalah binatang karang yang tidak dapat membentuk bangunan karang
(Supriharyono 2007).
Kemampuan
hermatypic coral membentuk bangunan kapur tidak lepas dari proses hidup
binatang ini. Binatang karang ini dalam hidupnya bersimbiosis dengan sejenis
alga (zooxanthellae) yang hidup di jaringan-jaringan polip binatang
karang tersebut, dan melaksanakan fotosintesa. Hasil samping dari aktifitas
fotosintesa tersebut adalah endapan kapur kalsium karbonat, yang struktur dan
bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menetukan jenis atau
spesies binatang karang. Karena aktifitas tersebut, maka peran cahaya matahari
sangat penting bagi hermatypic coral. Sehingga jenis binatang karang ini
umumnya hidup di perairan pantai atau laut yang cukup dangkal, yang mana
penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan (Supriharyono 2007).
Zooxanthellae adalah algae bersel tunggal dengan ukuran mikroskopis yang memerlukan
cahaya matahari untuk berfotosintesis. Zooxanthellae merupakan alga dari jenis Gymnodinium
microadriaticum atau dikenal juga dengan jenis Simbiodinium (Ronsen
1988 in Efendie 2009). Adanya simbiosis dengan zooxanthellae menyebabkan
karang berwarna coklat, hijau, atau biru. Dalam keadaan tertentu misalnya
akibat tekanan lingkungan atau adanya penyakit yang menyerang karang,
zooxanthellae dapat keluar dari karang sehingga menyebabkan karang menjadi
putih pucat dan bisa menyebabkan kematian (Veron 1986 in Pratama 2005).
Zooxanthellae mendapat perlindungan dari karang dan menggunakan beberapa hasil
sampingan metabolisme karang seperti karbondioksida, amonia, nitrat, dan fosfat
sebagai bahan makanan. Sebaliknya karang mendapat keuntungan dari pelepasan bahan-bahan
organik termasuk glukose, gliserol dan asam amonia yang dikeluarkan oleh
zooxanthellae (Hutabarat & Evans 1985). Simbiosis antara zooxanthellae
dengan polip karang dapat dilihat pada Gambar 2.
.
Gambar 1. Simbiosis antara zooxanthellae dan polip karang (Castro & Huber 2007)
Karang
pembentuk
terumbu merupakan
koloni dengan sejumlah besar
polip-polip kecil dengan diameter 1-3 mm, namun
seluruh koloni dapat menjadi
besar. Beberapa jenis
polip
soliter dengan
diameter sampai
25
cm, misalnya fungia
(Suwignyo et al. 2005). Setiap individu
karang yang disebut polip menempati
mangkuk
kecil yang dinamakan koralit.
Tiap
mangkuk koralit mempunyai
beberapa septa yang tajam
dan berbentuk
daun yang tumbuh keluar dari dasar koralit, dimana septa
ini merupakan dasar penentuan spesies karang (Bengen
2002). Setiap polip berbentuk seperti cangkir dengan
lingkaran tentakel yang
mengelilingi bagian tengah yang berfungsi sebagai mulut sekaligus
anus. Tentakel memberi informasi melalui sel-sel
penyengat (nematocysts) yang berfungsi sebagai
alat
pertahanan dan menangkap
mangsa (Bermuda Coexploration 2000
in Soehartono & Mardiastuti 2003). Anatomi
polip karang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Anatomi polip karang
(Sumich 1999 in Bengen 2002).
2.3.1. Reproduksi seksual
Binatang karang berkembang biak secara seksual dan aseksual (Supriharyono 2007). Perkembangbiakkan
secara seksual
melalui pemijahan atau
pertemuan antara ovarium dan testes. Reproduksi seksual karang dimulai dengan pembentukan calon gamet sampai terbentuknya gamet matang, proses ini disebut
gametogenesis. Selanjutnya gamet yang masak dilepaskan dalam bentuk telur
atau planula. Masing- masing
jenis karang mempunyai variasi dalam melepaskan telur yang telah dibuahi dan pertumbuhan terjadi di luar (broadcaster). Sedang karang yang lain pembuahan
terjadi di dalam
induknya dierami
untuk beberapa saat
dan dilepaskan sudah dalam bentuk planula (broader) (Coremap fase II
2006). Proses
reproduksi seksual
pada hewan
karang dapat dilihat dari Gambar 3.
Gambar 3.
Reproduksi seksual pada hewan karang (Nybakken 1992).
2.3.2. Reproduksi aseksual
Reproduksi aseksual
pada karang umumnya
dilakukan dengan
cara membentuk tunas
yang
akan
menjadi
individu
baru
pada
induk,
dan
pembentukan
tunas yang
terus-menerus merupakan mekanisme untuk menambah ukuran koloni, tetapi tidak untuk
menambah koloni baru (Nybakken 1992). Reproduksi terumbu karang melalui
fragmentasi dan pertunasan (budding).
Reproduksi melalui pertunasan, tergantung pada jenisnya, polip baru tumbuh
secara ekstratentakular atau intratentakular (Gambar 4). Pada pertunasan
ekstratentakular, polip yang baru tumbuh setengah bagian tubuh kebawah (Gambar
4-A). Pada pertunasan intratentakular, polip baru tumbuh dari penyekatan
membujur dari oral disk ke arah
aboral (Gambar 4-B). Proses pertunasan diikuti pembentukan sklerosepta dan
mangkuk karang dari masing-masing polip (Suwignyo et al. 2005).
Gambar 4. Reproduksi aseksual pada hewan karang A. Pertunasan ekstratentakular,
B. Pertunasan intratentakular (Suwignyo
et al. 2005).
2.4. Penyebaran Terumbu Karang dan Faktor-faktor Pembatas
Karang hermatipik dapat
bertahan selama beberapa waktu pada suhu sedikit di bawah 20 derajat celcius;
akan tetapi , seperti yang di catat oleh Nybakken (1992), tidak ada terumbu yan
gberkembang pada suhu minimum tahunan di bawah 18 drejat celcius. Perkembangan
terumbu yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya
23 – 25 derajat celcius. Terumbu karang dapat mentoleransi suhu kira-kira 36
– 40 derajat celcius. (Nybakken, 1992)
Faktor pembatas
karang antara lain yaitu, Kedalaman. Terumbu karang tidak dapat
berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50 – 70 m. Kebanyakan terumbu
tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Cahay, harus cukup tersedia agar
fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang dapat
terlaksana. Titik kompensasi untuk karang nampaknya merupakan kedalaman di mana
intensitas cahaya berkurang samapai 15 - 20 persen dari intensitas permukaan. Salinitas,
Karang hermatipik adalah organisme lautan sejati dan tidak dapat bertahan pada
salinitas yang menyimpang dari salinitas air laut normal (32 – 35 0/00).
Pengendapan, baik di dalam air atau di atas karang berpengaruh negatif
terhadap karang. Kebanyakan karang hermatipik tidak dapat bertahan dengan
endapan yang berat, menutupinya dan menyumbat struktur pemberian makananya.
(Nybakken, 1992).
2.5. Struktur Karang
Karena anggota-anggota terumbu karang yang
dominan adalah karang, maka perlu dimengerti sedikit mengenai anatominya.
Karang adalah anggota filum Cnidaria, yang termasuk mempunyai bermacam-macam
bentuk seperti ubur-ubur, hydroid, Hydra air tawar, dan anemon laut. Karang dan anemon laut adalah anggota klas
yang sama Anthozoa. Perbedaan utama adalah karang menghasilkan kerangke luar
dai kalsium karbonat sedangkan anemon tidak. (Nybakken, 1992).
Umumnya mereka dikelompokkan menjadi tiga
kategori: Atoll, terumbu penghalang (barrier reef), dan terumbu tepi
(fringing reef). Atol mudah dikenal karena merupakan terumbu yang berbentuk
cincin yang muncul dari perairan yang dalam, jauh dari daratan dan melingkari
gobah yang memiliki terumbu gobah atau terumbu petak.
(Nybakken, 1992).
Selain itu
terumbu karang terbagi menjadi empat kelompok berikut:
1. Hermatypes-symbionts.
Kelompok ini terdiri dari anggota karang pembangun terumbu yaitu sebagian besar
anggota Scleractinia (karang batu), Octocorallia (karang lunak) dan
Hydrocorallia.
2. Hermatypes-asymbionts.
Kelompok ini merupakan karang dengan
pertumbuhan lambat yang dapat membentuk kerangka kapur masif tanpa bantuan
zooxanthellae, sehingga mereka mampu untuk hidup di dalam perairan yang tidak
ada cahaya.· Di antara anggotanya adalah Scleractinia asimbiotik dengan genus
Tubastrea dan Dendrophyllia, dan hydro-corals jenis Stylaster rosacea.
3. Ahermatypes-symbionts
Anggota kelompok ini antara lain dari genus Heteropsammia dan Diaseris
(Scleractinia: Fungiidae) dan Leptoseris (Agaricidae) yang hidup dalam bentuk
polip tunggal kecil atau koloni kecil sehingga tidak termasuk dalam pembangun
terumbu. Kelompok ini juga terdiri dari Ordo Alcyonacea dan Gorgonacea yang mempunyai
alga simbion namun bukan pembangun kerangka kapur masif (matriks terumbu).
4. Ahermatypes-asymbionts
Anggota kelompok ini antara lain terdiri
dari genus Dendrophyllia dan Tubastrea (Ordo Scleractinia) yang mempunyai polip
yang kecil. Termasuk juga dalam kelompok ini adalah kerabat karang batu dari
Ordo Antipatharia dan Corallimorpha (Subkelas Hexacorallia) dan Subkelas
Octocorallia asimbiotik.
Jumlah spesies dan genera karang terumbu
yang terbesar berada di daerah Indo-Pasifik, termasuk di dalamnya kepulauan
Filipina, Kepulauan Indonesia, Nugini dan bagian utara Australia. Dalam daerah
ini, Crossland (1952) dan Wells (1954) mencatat 50 negara dan beberapa ratus
spesies. (Nybakken, 1992)
Dimulai dari sisi yang menghadap ke arah
datangnya angin (windward). Zona pertama terumbu karang adalah lereng terluar
yan gmenghadap ke laut (outer seaward slope), zona susuk dan parit (apur and
groove) atau zona penopang, dan zona dataran terumbu yang sangat dangkal, dan
berakhir di daerah pantai yang menghadap ke laut. (Nybakken, 1992).
Mungkin sumber terbesar dari kematian
terumbu masif antara lain perusakan mekanik oleh badai tropik yang hebat,
dimana topan atau angin puyuh yang kuat ketika melalui suatu daerah terumbu
sering merusak daerah yang luas di terumbu. Ledakan populasi Acanthaster
Plancii, serta Kegiatan mausia secara langsung. (Nybakken, 1992).
Ada beberapa jenis penyakit karang Pada
awalnya jenis penyakit ini juga masih terbagi dalam dua jenis penyakit yakni:
1.
penyakit
yang disebabkan oleh faktor internal (apathogen) (Skeletal anomalies, Shut-down
reaction, dan White band disease)
2.
penyakit
yang disebabkan oleh pathogen eksternal yakni bakteri (Black band disease,
White plaque type I) .Perkembangan penyakit pada saat ini lebih cenderung
kearah pathogen. Perkembangan penyakit yang disebabkan oleh faktor internal
(aphatogen) juga mengalami perkembangan.
1. penyakit yang disebabkan oleh faktor internal (apathogen) (White band
disease type II).
2. penyakit yang disebabkan oleh pathogen eksternal dibagi menjadi dua yakni:
Pathogen yang disebabkan oleh jamur (Fungi) (Aspergillosis, Fungal protozoan
syndrome) Pathogen yang disebabkan oleh bakteri atau microalgae (White pox,
Vibrio shiloi-induced bleaching, Yellow blotch/band, White plague Type II ,
Yellow band, Dark spots, Skeleton eroding band, White plague Type III,
Pink-line syndrome, Vibrio coralliilyticus-induced bleaching and diseas
3. Limbah dan Eutropikasi Parameter penting dari tekanan sampah di lingkungan
laut tampak dari penurunan kandungan oksigen, jumlah kontaminan beracun dan
tingkat penanganan limbah. Limbah dapat mengandung sejumlah penting bahan
toksik atau produk ikutan dari pestisida, herbisida, klorin, atau logam berat.
Nilai BOD yang tinggi dari limbah, kemungkinan berpasangan dengan turunan
hydrogen sulfida, mungkin juga menimbulkan pengaruh toksik. Selain limbah
toksik, masuknya unsur hara (nutrien) yang ber lebihan (eutropikasi) dari
daratan juga mengakibatkan kerusakan pada terumbu karang. Dua contoh pengaruh
eutropikasi terhadap terumbu karang telah di gambarkan di Barbados dan Kaneohe
Bay Hawaii (Brown, 1997) Di Barbados tekanan merupakan kombinasi dari
pengkayaan nutrien, penambahan sedimentasi dan masuknya bahan beracun. Dan di
Kaneohe Bay tekanan meliputi sedimentasi, limbah rumah tangga dan runoff dari
daerah pertanian.
4. Acantchaster
Acanthaster planci adalah sejenis bintang laut besar yang sering disebut
mahkkota duri (crown of thorns). Di New Caledonia dikenal dengan
"step-mother’spin-cushion". Organisme ini dikenal bukan karena
keindahan atau nilai komersialnya akan tetapi potensinya yang merusak bagi
karang karena hewan ini memakan polyp karang (corallivorous). Seekor
acanthaster dapat menghancurkan 5 – 6 m2 karang per tahun (Anonimus, 2003a).
Dalam jumlah yang banyak dapat menghancurkan beberapa km2 per tahun. Beberapa
bukti kerusakan karang akibat acanthaster telah di laporkan antara lain
rusaknya 90% koral di sepanjang 38 km pantai Guam, 80% di Green Island
(Australia) yang mencapai kedalaman 40 m. Di Hawaii hanya menyebabkan kerusakan
yang kecil (Anonim, 2003a). Kerusakan bervariasi antara satu tempat ke tempat
lain. Koral di tempat yang dangkal dengan air yang berolak sedikit terserang
acantasther dibandingkan tempat lain. Tingkat kerusakan juga bergantung pada
spesies karang, Porites dan Pocillopora yang membentuk blok paling massif
sedikit mendapat serangan.
5. Coral Bleaching
Coral bleaching adalah proses dimana
koloni coral kehilangan pigmenpigmen karena ‘lepasnya’ zooxanthellae yang hidup
bersimbiosis dengan organisme inangnya (polyp coral), atau karena zooxanthella
telah keluar dari polyp (Quod, 2003) Meskipun bleaching koral umumnya terjadi
pada bagian yang dangkal dari terumbu, pada sebagian besar kasus serius dapat
mempengaruhi koloni yang berlokasi hampir 40 m. Menunrut Muller-Parker dan
D’Elia, (1997) Fenomena coral bleaching mungkin merupakan suatu mekanisme pemberian
kesempatan bagi coral dewasa untuk menukar zooxanthella dengan yang ada
dilingkungan. Hal ini sesuai pendapat Buddemeier dan Fautin (1993) dalam Veron
(1995) yang menduga bahwa bleaching lebih merupakan adaptasi dibanding sebagai
bentuk penyakit. Pada kenyataanya, tampak bahwa bleaching adalah suatu proses
yang kontinyu yang terjadi ketika ada tekanan tehadap lingkungan. Tingkat
pengusiran yang rendah dari simbion-simbion mungkin terjadi relatif
teratur,memungkinakan pergantian terus-menerus populasi simbion dalam coral
inang.
6. Global climate changes (Perubahan Iklim Global) Menurut Smith dan
Buddemeier (1992) dalam Brown (1997), faktor-faktor kunci yang dapat
mempengaruhi terumbu karang selama periode perubahan iklim adalah naiknya
permukaan laut (sea-level rise), penambahan temperatur air laut, perubahan
kelarutan mineral karbonat, bertambahnya radiasi ultra violet dan kemungkinan
menguatnya aktivitas badai dan arus.
Penelitian
ini dilakukan pada bulan Agustus 2014. Lokasi penelitian dilakukan di perairan
Pantai Parai Kepulauan Bangka Belitung. Posisi geografis antara 106.09o
– 106.16o LU – 1.79o – 1.83o LS.
Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian (sumber :
Arcview dan Google Earth)
Alat dan bahan dan kegunaan
pada saat penenlitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Alat dan
Bahan.
No
|
Alat dan Bahan
|
Kegunaan
|
1
|
Alat tulis bawah air
|
Untuk mencatat hasil pengamatan di lapangan
|
2
|
Buku identifikasi terumbu karang
|
Panduan untuk
mengidentifikasi terumbu karang
|
3
|
Camera Underwater
|
Untuk dokumentasi kegiatan di lapangan
|
4
|
Perahu Bermotor
|
Transportasi yang digunakan
|
5
|
Pita berskala 25 meter (roll meter)
|
Untuk pembuatan transek
|
6
|
GPS receiver
|
Untuk menentukan posisi lokasi penelitian
|
7
|
Termometer Hg
|
Untuk mengukur suhu
|
8
|
Hand Refraktometer
|
Mengukur salinitas
|
9
|
Secchi disk
|
Untuk
mengukur kecerahan
|
10
|
Tali pengukur dan konsul
|
Untuk mengukur kedalaman
|
Penelitian ini menggunakan metode survei
dengan menggunakan observasi secara langsung dan penggunaan metode PIT. Pengukuran
kualitas perairan seperti suhu, salinitas, kecepatan arus, kecerahan, derajat
keasaman (pH) secara in situ.
3.3.1. Penentuan Lokasi Penelitian
Posisi
stasiun penelitian ditentukan dengan menggunakan Global Positioning System (GPS).
3.3.2. Pengambilan
Data Terumbu Karang
Metode pengukuran terumbu karang yang
digunakan adalah Transek Garis Segmen atau Point Intercept Transect (PIT) (Gambar
2). PIT (Point Intercept Transect) atau transek garis segmen merupakan
modifkasi dari transek garis life form. PIT lebih sederhana dalam terapannya
dimana setiap jarak 25 cm harus dicatat. Penelitian dilakukan sebanyak 3
stasiun dan panjang transek sekitar 25 meter yang dibentangkan berimpit dengan
transek permanen yang sejajar dengan garis pantai. Transek permanen telah
diletakkan pada satu kedalaman, yakni 5 meter.
Gambar 6. Metode Point Intercept Transek
3.3.3.
Pengambilan Data Parameter Kualitas Perairan
Parameter fisika-kimia
perairan yang di ukur adalah suhu, kecepatan arus, kecerahan, kedalaman,
salinitas dan derajat keasaman (pH), dengan tujuan untuk menggambarkan kondisi
perairan saat penelitian dilaksanakan.
Setelah melakukan pengamatan karang
dengan metode PIT, persentase pentupan karang hidup dihitung mengacu pada English et al.
(1994)
Tutupan karang (%) =
Kriteria
penilaian kondisi terumbu karang adalah berdasarkan persentase tutupan karang
hidup (kep MENLH No 4 tahun 2001) dengan kategori sebagai berikut:
Tabel 2. Kategori kondisi terumbu karang (K)
No
|
Persentase Tutupan Karang
|
Kategori
|
1
|
0 – 24.9
|
Rusak
|
2
|
25 – 49,9
|
Sedang
|
3
|
50 – 74,9
|
Baik
|
4
|
75 - 100
|
Sangat baik
|
Provinsi
Kepulauan Bangka belitung adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terdiri dari
dua pulau utama yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung serta pulau-pulau kecil
seperti Pulau Lepar, Pulau Pongok, Pulau Mendanau dan Pulau Selat Nasik. Total
pulau yang bernama berjumlah 470 buah dan yang berpenghuni hanya 50 pulau.
Bangka Belitung memiliki total area 18.725.14 km2 (7.229.82 mil2)
yang terdiri dari total darat 16.424.14 km2 (6.314.40 mil2)
dan total perairan 65.301 km2 (25.213 mil2) atau 79,99 %
dari jumlah total keseluruhan. Bangka Belitung terletak di bagian timur Pulau
Sumatera, dekat dengan Provinsi Sumatera Selatan. Bangka Belitung dikenal
sebagai daerah penghasil timah, memilki pantai yang indah dan kerukunan antar
etnis. Pantai Parai merupakan salah satu pantai yang terletak di Kepulauan
Bangka Belitung yang memilki keindahan yang eksotis.
Pantai
Parai merupakan pantai yang memilki ekosistem terumbu karang yang baik. Tipe
terumbu karangnya termasuk dalam kategori terumbu karang tepi (fringing reef).
Selain dikelilingi hamparan terumbu karang, memiliki hamparan pantai berpasir
putih yang indah, pantainya terlihat landai dan sama sekali tidak ditumbuhi
mangrove, akan tetapi terdapat vegetasi pohon kelapa dan pohon pinus.
Berdasarkan penelitian yang sudah
dilakukan maka diperoleh hasil pengukuran parameter kualitas air yang dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai parameter kualitas air
No
|
Parameter
|
Satuan
|
Stasiun
|
Stasiun 1
|
Stasiun 2
|
Stasiun 3
|
3
Meter
|
8
Meter
|
3
Meter
|
8
Meter
|
3
Meter
|
8
Meter
|
1
|
Suhu
|
oC
|
29
|
29
|
30
|
29
|
30
|
30
|
2
|
Salinitas
|
ppt
|
31
|
31
|
31
|
31
|
31
|
31
|
3
|
Arus
|
Ms-1
|
0.079
|
0.078
|
0.083
|
0.078
|
0.066
|
0.065
|
4
|
Kecerahan
|
m
|
11
|
11
|
11
|
10
|
11
|
9
|
a)
Suhu
Suhu dilokasi penelitian berkisar 29 –
30 oC
suhu pada kisaran ini merupakan suhu yang baik bagi
pertumbuhan terumbu karang. Menurut Sadarun et.al., (2006), bahwa
suhu mempengaruhi
kecepatan metabolisme dan reproduksi. Suhu paling optimal bagi pertumbuhan karang berkisar antara
23–30 oC, semakin tinggi suhu maka semakin tinggi pula metabolisme
hewan karang sehingga kelarutan oksigen akan berkurang. Kisaran suhu di lokasi penelitian masih pada
kisaran normal dan dapat ditoleransi oleh biota perairan. Sesuai dengan Rahman
(2006) bahwa biota laut dapat mentoleransi suhu yang berkisar 20-35°C dan suhu
yang baik untuk pertumbuhan kima
adalah 25-35°C (Jameson, 1976).
Coral Watch (2011) menyatakan bahwa suhu
air berfluktuasi sesuai siklus matahari dan pasang-surut. Air laut yang
terperangkap di dalam cekungan bebatuan atau pada rataan terumbu karang di
siang hari suhunya dapat meningkat beberapa derajat. Pola suhu dalam perairan
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran
panas antara air dan udara di sekelilingnya, ketinggian geografis, dan juga
oleh faktor penutupan oleh vegetasi
dari pepohonan yang tumbuh di sekitarnya.
b)
Salinitas
Salah satu parameter ekologi yang
berpengaruh terhadap organisme di laut
adalah
salinitas. Salinitas merupakan konsentrasi seluruh
garam yang terdapat dalam air laut. Salinitas mempengaruhi tekanan osmotik
dalam tubuh organisme, sehingga organisme tersebut akan mengeluarkan energi
untuk beradaptasi dengan lingkungannya melalui mekanisme osmoregulasi. Kadar
garam atau salinitas yang diperoleh pada ke tiga stasiun pengamatan adalah sama
yaitu sebesar 31 ppt. Salinitas pada ke tiga
stasiun ini tergolong salintas yang baik untuk pertumbuhan terumbu karang.
Menurut Sadarun et.al., (2006), bahwa salinitas optimum bagi kehidupan
karang berkisar antara 30–35 ppt, oleh
karena itu karang jarang ditemukan hidup pada muara-muara sungai besar, bercurah hujan tinggi, dan perairan
dengan kadar garam yang tinggi.
Sedangkan bagi pertumbuhan kima,
salinitas tersebut masih dalam kategori baik. Hal ini seperti pendapat Jameson (1976) bahwa
salinitas yang baik untuk kima adalah 25- 40 ppt. Coralwatch (2011),
menambahkah bahwa salinitas berubah-ubah akibat bertambah dan berkurangnya
molekul-molekul air melalui proses penguapan dan air hujan. Salinitas meningkat
bila laju penguapan di suatu daerah lebih besar dari pada hujan. Sebaliknya,
pada daerah dimana curah hujan lebih besar dari
pada penguapan salinitas berkurang. Kondisi ini tergantung dengan garis
lintang dan musim.
c)
Kecepatan Arus
Kecepatan arus di lokasi penelitian dengan
nilai tinggi terdapat pada stasiun I dan II, hal ini di pengaruhi oleh kondisi
perairannya lebih terbuka dan angin yang terasa kuat sehingga arus lebih tinggi
di stasiun tersebut. Nontji (1993), menyatakan bahwa keberadaan arus dan
gelombang di perairan sangat penting untuk kelangsungan hidup terumbu karang.
Arus diperlukan untuk mendatangkan makanan berupa plankton, disamping itu juga membersihkan diri dari endapan-endapan dan
untuk mensuplai oksigen dari laut bebas. Oleh karena itu pertumbuhan di tempat
yang airnya selalu teraduk oleh arus dan ombak, lebih baik dari pada perairan yang
tenang dan terlindung.
d)
Kecerahan
Bedasarkan hasil pengukuran kecerahan
bahwa kecerahan pada tiap stasiun adalah sama yaitu kecerahan 11 m. Penetrasi
cahaya masih dapat menembus perairan sampai ke dasar laut. Hal ini menunjukkan
tingkat kecerahan yang baik untuk pertumbuhan terumbu karang, karena cahaya
adalah salah satu faktor yang paling penting yang membatasi terumbu karang
sehubungan dengan laju fotosintesis oleh
zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Supriharyono
(2007) menyatakan bahwa tanpa cahaya
yang cukup yang masuk dalam badan air laju fotosintesis akan berkurang. Kima
seperti halnya terumbu karang dalam pertumbuhannya membutuhkan cahaya. Hal ini
terkait dengan suplai makanan, selain mendapat makanan dari sekitarnya juga
mendapatkan makanan dari simbionnya. Pada mantel kima hidup alga bersel satu
yang disebut zooxanthellae yang memberi suplai makanan pada kima (Mudjiono, 1988). lebih lanjut Smith et.al
(2008), bahwa parameter ekologi yang mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan
hidup karang yaitu faktor cahaya, suhu,
salinitas, kekeruhan air dan pergerakan
massa air.
Berdasarkan penelitian yang sudah
dilakukan maka diperoleh hasil pengukuran dominasi bentuk pertumbuhan karang
hidup pada masing-masing stasiun di Pantai Parai. Hasilnya dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 4. Bentuk pertumbuhan dan jumlah
kemunculan karang di setiap stasiun
No
|
Kategori
|
Jumlah dan Jenis lifeforms Terumbu
Karang
|
Stasiun 1
|
Stasiun 2
|
Stasiun 3
|
3 (meter)
|
8(meter)
|
3 (meter)
|
8 (meter)
|
3 (meter)
|
8 (meter)
|
I
|
Hard corals (Acropora)
|
4
|
4
|
4
|
5
|
4
|
2
|
1
|
ACB
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
2
|
ACD
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
3
|
ACE
|
-
|
-
|
+
|
+
|
-
|
-
|
4
|
ACS
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
5
|
ACT
|
+
|
+
|
-
|
+
|
+
|
+
|
II
|
Hard corals (Non-Acropora)
|
4
|
5
|
5
|
6
|
5
|
6
|
1
|
CB
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
2
|
CE
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
3
|
CF
|
-
|
-
|
+
|
+
|
-
|
+
|
4
|
CM
|
+
|
+
|
-
|
+
|
+
|
+
|
5
|
CS
|
-
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
6
|
CMR
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
7
|
CHL
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
8
|
CME
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
II
|
Biota Lain
|
1
|
2
|
2
|
2
|
2
|
2
|
1
|
SC
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
2
|
SP
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
3
|
ZO
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
4
|
OT
|
-
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
TOTAL
|
9
|
11
|
11
|
13
|
11
|
10
|
Keterangan : + Ada pertumbuhan
-
Tidak ada pertumbuhan
Kondisi terumbu karang pada
tiap stasiun pengamatan memiliki bentuk pertumbuhan (life form) yang
bervariasi. Bentuk pertumbuhan koloni karang yang ditemukan pada stasiun
pengamatan adalah Acropora (Acropora branching, Acropora tabulate), Non
Acropora (Coral branching, Coral encrusting, Coral foliose, Coral massive, Coral
muschroom), death coral, death coral with alga, dan abiotik
meliputi sand, rubble, water, sedangkan
biotik lain (Sponge dan others). Berdasarkan hasil identifikasi jenis terumbu
karang di temukan 13 jenis yang berbeda. Pada stasiun 1 di kedalaman 3
ditemukan 9 bentuk pertumbuhan, pada kedalaman 8 meter ditemukan 11 bentuk
pertumbuhan. Kemudian pada stasiun 2 kedalaman 3 meter ditemukan 11 bentuk
pertumbuhan, pada kedalaman 8 meter ditemukan 13 bentuk pertumbuhan. Selain itu
pada stasiun 3 di kedalaman 3 meter ditemukan 11 bentuk pertumbuhan dan
kedalaman 8 meter terdapat 10 bentuk pertumbuhan.
Hasil pengukuran kondisi terumbu karang yang ada di perairan
Pantai Parai dapat dilihat pada grafik batang di bawah ini.
Gambar 7. Kondisi terumbu karang stasiun 1 kedalaman 3 meter
Gambar 8. Kondisi terumbu karang stasiun 1 kedalaman 8 meter
Gambar 9. Kondisi terumbu karang stasiun 2 kedalaman 3 meter
Gambar 10. Kondisi terumbu karang stasiun 2 kedalaman 8 meter
Gambar 11. Kondisi terumbu
karang stasiun 3 kedalaman 3 meter
Gambar 12. Kondisi terumbu karang stasiun 3 kedalaman 8 meter
Berdasarkan hasil pengukuran terumbu
karang yang dilakukan dengan menggunakan metode PIT maka pada stasiun 1
kedalaman 3 meter banyak terdapat jenis karang DC dan SC yaitu banyaknya
terdapat karang mati dan jenis biota yang ada di sekitar stasiun 1 kedalaman 3.
Tetapi pada stasiun 1 di kedalaman 3 meter hanya terdapat 2% alga yang menutupi
karang. Adapun jenis karang mati yang terdapat di stasiun 1 kedalaman 3 meter
disebabkan oleh aktifitas lalu \intas
kapa\ maupun karena pada saat surut terendah daerah Reef top ini menjadi tempat
mencari kerang (Anadara, dll) untuk dikonsumsi. Kemudian pada kedalaman 8 meter
pada stasiun 1 jenis karang mati hanya terdapat 10 % hal tersebut disebakan
karena kapal-kapal nelayan tidak terlalu mengganggu ekosistem terumbu karang
yang ada di stasiun 1 kedalaman 8. Tetapi pada stasiun ini banyak di dominasi
oleh pasir yaitu 12 %. Hal yang mengakibatkan terdapatnya banyak pasir yaitu
pada setiap pengukuran sejauh 25 cm maka hal yang ditemukan yaitu pasir.
Sehingga pada stasiun 1 kedalaman 8 meter di dominasi oleh pasir. Daerah ini juga sering di kunjungi wisatawan untuk bermain dan
berenang karena memiliki substrat pasir yang relatif luas. Substrat sand atau
pasir dapat mempengaruhi kondisi terumbu karang. Kondisi tutupan abiotik (sand)
yang tinggi pada suatu area terumbu karang
adalah pertanda buruknya tutupan biota karang. Persentasi tutupan pasir yang
tinggi menunjukkan bahwa distribusi karang tidak merata dan membentuk
gundukan-gundukan yang terpisah
ditemukan di stasiun I. Nybakken, (1992) menyatakan bahwa hewan
karang membutukan substrat yang keras dan kompak untuk menempel, terutama larva
planula dalam pembentukan koloni baru dari karang yang membutuhkan substrat
yang keras.
Kemudian pada stasiun 2 kedalaman 3
meter hampir sama dengan stasiun 1 kedalaman 3 meter yaitu kebanyakan
didominasi oleh karang mati yaitu sebanyak 14 %. Kemudian pada stasiun ini
terdapat kima yang menutupi karang sehingga hal tersebutlah yang membuat di
stasiun ini banyak terdapat karang mati. Selain itu pada stasiun 2 kedalaman 3 meter
juga banyak terdapat alga yang menutupi karang yaitu sebanyak 4 %. Sehingga
karang yang tertuttupi oleh alga maka tidak dapat melakukan pertumbuhan dengan
baik. Kemudian pada kedalaman 8 meter di stasiun 2 karang mati menurun menjadi
8 % kemudian adanya peningkatan persentase alga yaitu sebanyak 1 %. Kemudian di
kedalaman 8 meter stasiun 2 banyak terdapat SC dan OT yang menutupi karang.
Selain itu pada stasiun 3 kedalaman 3
meter terjadi peningkatan karang mati DC yang mencapai 19 %. Hal tersebut
dikarenakan pada stasiun 3 di kedalaman 3 meter banyak terkena paparan sinar
matahari yang langsung menembus terumbu karang yang ada di perairan Pantai
Parai. Fachry dan Pertamasari (2011) menjelaskan, lima aktifitas utama
manusia yang mengancaman kelestarian terumbu karang,
yaitu penangkapan ikan
dengan bahan beracun,
penangkapan ikan dengan bahan peledak, pengambilan batu karang, sedimentasi,
dan pencemaran laut. Lebih lanjut Bahartan et.al., (2010) menyatakan
bahwa pencemaran dari industri dan limbah rumah tangga, juga akan membuat
terumbu karang ikut terganggu. Alga dan kima juga merupakan penyebab banyaknya terdapat karang
mati. Kemudian pada kedalaman 8 meter karang mati mengalami penurunan
persentase yaitu hanya terdapat 7 %.
Lalu pada kedalaman 8 meter di stasiun 3 ini sama dengan stasiun 2
kedalaman 8 meter yaitu banyak di dominasi oleh pasir. Kemudian juga terdapat partikel sedimen yang dapat menghambat pertumbuhan karang
secara langsung maupun tidak langsung. Supriharyono, (2007) menyatakan bahwa,
secara langsung partikel sedimen dapat menutup mulut polip karang dan organ
penangkap mangsanya, secara tidak langsung, partikel sedimen akan mengurangi
penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan dan menurunkan laju pertumbuhan
karang. Lebih lanjut Coralwatch, (2011) menyatakan bahwa adanya sedimentasi yang tinggi di
ekosistem terumbu karang dapat mempercepat pertumbuhan alga. Apabila biota-biota
pemakan alga jumlahnya sangat sedikit maka terumbu karang akan di dominasi oleh
dead coral with alga.
Berdasarkan
penenlitian yang sudah dilakukan dan perhitungan yang sudah dilakukan maka
didapatkan nilai tutupan karang menurut kep MENLH No 4 tahun 2001.
Tabel 5. Nilai persen tutupan terumbu karang
pada tiap stasiun pengamatan
Stasiun
|
|
Kedalaman
|
|
|
3 Meter
|
|
10 Meter
|
|
(%) Tutupan
|
Kategori
|
(%) Tutupan
|
Kategori
|
I
|
61.00
|
Baik
|
67.00
|
Baik
|
II
|
62.00
|
Baik
|
70.00
|
Baik
|
III
|
66.00
|
Baik
|
65.00
|
Baik
|
Pada stasiun 1 kedalaman 3 meter terdapat persentase nilai tutupan
karang sebesar 61% yang tergolong kategori baik. Stasiun 1 kedalaman 8 meter
memiliki nilai persentase tutupan karang 67 % yang tergolong kategori baik.
Pada stasiun 2 kedalaman 3 meter nilai persentase tutupan karang 62 %,
kedalaman 8 meter 70 % sehingga tergolong pada kategori baik. Kemudian pada
stasiun 3 kedlaman 3 meter nilai persentase tutupan karang 66 % dan kedalaman 8
meter terdapat 65 % yang memilki kategori baik.
Pada daerah penenlitian ini memiliki perairan yang jernih sehingga
sangat mudah ditembus oleh cahaya matahari yang cukup untuk pertumbuhan terumbu
karang. Sehingga banyaknya terdapat ketersediaan makanan untuk hewan karang.
Kemudian pada tempat penelitian memiliki parameter kualitas air yang tergolong
baik yang bisa menjadi penunjang pertumbuhan terumbu karang yang ada di
perairan Pantai Parai Kepulauan Bangka Belitung.
Berdasrkan penelitian yang sudah dilakukan maka jenis karang yang terdapat
di Pantai Parai Kepulauan Bangka Belitung yaitu jenis ACB, ACD, ACS, ACT, ACE,
CB, CE, CF, CS, CHL, SC, OT dan MA. Selain itu padahasil yang sudah di dapat
maka juga banyak didominasi oleh pasir dan karang mati. Kemudian juga terdapat
alga yang menutupi beberapa terumbu karang.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di perairan Pantai Parai maka
Pantai Parai merupakan pantai yang memilki ekosistem terumbu karang yang
termasuk kedalam kategori baik. Penelitian ini dilakukan di tiga stasiun dan
tiga stasiun tersebut termasuk terumbu karang yang memilki kategori baik. Pada
kedalaman 3 meter pada stasiun I, II dan III yaitu persentase tutupan karangnya
61 %, 62% dan 66%. Kemudian pada kedalam 8 meter di stasiun I, II dan III yaitu
67 %, 70 %, 65 %. Berdasarkan kep MENLH persentase tutupan karang tersebut
termasuk kedalam kategori baik.
Saran yang dapat
diberikan dalam hubungannya dengan penelitian ini yaitu perlu adanya penelitian
lanjutan tentang Kondisi Terumbu Karang. Mengingat sangat pentingnya terumbu
karang untuk biota yang ada di laut dan untuk lautnya sendiri maka kita harus
menjaga dan melestarikan ekosistem terumbu karang sebaik mungkin.
Bahartan, K., Zibdah, M., Ahmed, Y., Israel, A., Brickner, I., dan
Abelson, A. 2010. Macroalgae in the coral reefs of Eilat (Gulf of Aqaba, Red
Sea) as a possible indicator of reef degradation. Marine Pollution Bulletin.
60(5) : 759–764.
Coralwatch. 2011. Terumbu Karang dan Peru bahan Iklim. Panduan Pendidikan dan
Pembangunan Kesadartahuan. The University of Queensland.
Australia, 272 hal.
English, S., C. Wilkinson, V. Baker. 1994. Survey manual for
tropical marine resources (2 Edition).
Asean Australia marine science project. Australia institute
of marine science,
Townsville.
Fachry, M.E., Pertamasari, A. 2009. Analisis Efektifitas Metode
Penyuluhan Pada Masyarakat Pesisir di Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan.
Jurnal Agribisnis. 10(3) : 69-80.
Jameson, C.S. 1976. Early Life History of The Giant Clams
Tridacna crocea Lamarck, Tridacna maxima
(Roding) and Hippopus hippopus (Linnaeus) Pasific Science.
30,(3) : 219-233.
Kementerian Lingkungan Hidup, 2001. Himpunan Peraturan
Perundang-Undangan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian
Dampak Lingkungan Era Otonomi Daerah. Jakarta. 737-739 hal.
Mudjiono. 1988. Catatan Beberapa Aspek Kehidupan Kima Suku Tridacnidae
(Molusca, Pelecypoda). Oseana. 13: 37-47.
Nontji. A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta, 367 hal.
Nybakken. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologi. Terjemahan M. Ediman,
Koeshlono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukardjo. PT. Gramedia. Jakarta, 481
hal.
Rahman, A. 2006. Kandungan
Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada Beberapa Jenis Krustasea
Di Pantai Batakan dan Takisung Kabupaten
Tanah Laut Kalimantan Selatan.
Bioscientiae. 2 (3) : 93-101.
Sadarun, B.,Nezon, E., Wardono, S., Afandy, Y.A., Nuriadi, L. 2006.
Petunjuk Pelaksanaan Transplantasi
Karang. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta 36 hal.
Siregar, V.P. 1996. Pengembangan Algoritma
Pemetaan Terumbu Karang di Pulau Menjangan Bali dengan Citra Satelit. Kumpulan
Seminar Maritim 1996. BPPT, Jakarta.
Smith, T.B., Nemeth, R.S., Blondeau, J., Calnan, J.M., Kadison,
E., dan Herzlieb, S. 2008. Assessing coral
reef health across onshore to offshore stress gradients in the US
Virgin Islands. Center for Marine and Environmental
Studies. University of the Virgin Islands. 56 (12) : 83-91.
Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang.
Djambatan. Jakarta, 129 hal.
Veron, 2000. Corals of The World Australian Institute of
Marine Science, PMB3. Townssvilie MC.Q164810 : p 463.